latar belakang kesusastraan indonesia
2.1 KESUSASTRAAN ANGKATAN BALAI PUSTAKA
2.1.1 Sejarah dan Latar Belakang
Lahirnya Balai Pustaka
Dalam sejarahnya awal mula Balai Pustaka terbentuk ketika
pemerintahan Kolonial Belanda mendirikan komisi untuk bacaan sekolah pribumi
dan bacaan rakyat, pada 14 September 1908 melalui keputusan Gubernemen dengan
nama awal yaitu Commissie voor de inlandsche school en volkslectuur
diketuai oleh Dr. G.A.J. Hazeu. Dan Balai Pustaka baru menghasilkan bacaan pada
tahun 1910 yang dipimpin oleh Dr. D.A. Rinkes sampai tahun 1916 dengan tugasnya
adalah memajukam moral dan budaya serta meningkatkan apresiasi sastra. Kemudian
pada tahun 1917 pemerintahan Kolonial Belanda mendirikan Kantoor voor de
volkslectuur atau Kantor Bacaan Rakyat yaitu Balai Pustaka.
Tujuan didirikannya Balai Pustaka ialah untuk mengembangkan
bahasa – bahasa seperti bahasa Jawa, bahasa Sunda, bahasa Melayu tinggi dan
bahasa Madura. Serta mencegah pengaruh buruk dari bacaan yang banyak menyoroti
kehidupan pernyaian (cabul) dan dianggap memiliki misi politis (liar) yang
dihasilkan oleh sastra Melayu Rendah.
Tujuan inti didirikannya Komisi Bacaan Rakyat adalah meredam
dan mengalihkan gejolak perjuangan bangsa Indonesia lewat media tulisan dan
tidak bertentangan dengan kepentingan Belanda. Tujuan lainnya adalah
menerjemahkan atau menyadur hasil sastra Eropa hal ini bertujuan agar rakyat
Indonesia buta terhadap informasi yang berkembang di negaranya sendiri.
Adapun usaha – usaha positif yang dilakukan yaitu mengadakan
perpustakaan di tiap – tiap sekolah, mengadakan peminjaman buku – buku dengan
tarif murah secara teratur, dan memberikan bantuan kepada usaha – usaha swasta
untuk menyelenggarakan taman bacaan.
Jadi,
beberapa faktor berikut inilah yang menjadi penyebab perjalanan kesusastraan
Indonesia berkembang mengikuti idiologi kolonial :
1.
Pendirian Balai Pustaka telah
menafikan keberadaan karya – karya terbitan swasta yang secara sepihak dituding
sebagai “bacaan liar”. Karya – karya sastra yang dipublikasikan lewat surat
kabar dan majalah, dianggap tidak ada.
2. Pemberlakuan sensor melalui Nota
Rinkes menyebabkan buku – buku terbitan Balai Pustaka, khasnya novel – novel
Indonesia sebelum perang, cenderung menampilkan tokoh – tokoh yang terkesan
karikaturs.
3. Penetapan bahasa melayu mendorong
munculnya sastrawan – sastrawan yang menguasai bahasa Melayu. Dan mereka datang
dari Sumatera. Maka, sastrawan yang berasal dari Sumatera itulah yang kemudian
mendominasi peta kesusastraan Indonesia.
Sastra Balai Pustaka adalah sastra rakyat yang berpijak pada
kultur Indonesia abad 20. Hal ini dengan jelas nampak dari roman – roman Balai
Pustaka dalam bahasa jawa, sunda, dan melayu tinggi.
Sastra Balai Pustaka sebenarnya adalah “sastra daerah”,
bukan saja dalam arti menggunakan bahasa daerah tetapi juga menggarap
tema – tema kedaerahan, bisa dilihat dari karya – karya yang lahir pada saat
itu.
Saat itu buku – buku yang diterbitkan Balai Pustaka dapat
dibagi tiga; pertama, buku untuk anak – anak. Kedua, buku hiburan dan
penambahan pengetahuan dalam bahasa daerah. Ketiga, buku hiburan dan penambahan
pengetahuan dalam bahasa melayu dan kemudian menjadi bahasa Indonesia.
Pada
masa pendudukan jepang (1942-1945) Balai Pustaka masih tetap eksis namun
menggunakan nama lain yaitu, Gunseikanbo Kokumin Tosyokyoku yang artinya
Biro Pustaka Rakyat Pemerintah Militer Jepang. Zaman keemasan Balai Pustaka
sekitar tahun 1948 hingga pertengahan tahun 50-an ketika dipimpin oleh K.St.
Pamoentjak dan mendominasi penerbitan buku – buku sastra dan sejumlah pengarang
Indonesia bermunculan seperti H.B.Jassin, Idrus, M.Taslim, dan lain – lain.
2.1.2 Karakteristik Karya – karya Sastra Angkatan Balai
Pustaka
Balai Pustaka membahas tentang istiadat dan
percintaan. Pada tingkat unsur intrinsik ; gaya bahasa yang digunakan karya –
karya Balai Pustaka menggunakan perumpamaan klise, menggunakan banyak pepatah –
pepatah dalam bahasanya, serta gaya percakapan sehari – hari. Alur yang dipakai
adalah alur datar atau alur lurus dan akhir cerita tertutup. Tokoh – tokohnya
selalu orang – orang kedaerahan atau bersifat kedaerahan, baik dalam bahasa
maupun dalam masalah dengan teknik penokohan yang datar. Penyajian tokoh hanya
dalam permukaannya saja tidak ada atau menggunakan masalah kejiwaan tetapi
masalah seperti fisik yang dimunculkan dalam karya – karya Balai Pustaka. Sudut
pandang yang digunakan adalah sudut pandang maha tahu, bersifat Idealisme dan
Romantis. Kadang banyak alur yang menyimpang dan lambat. Amanatnya bersifat
didaktis atau nasihat, mendidik pembaca agar loyal pada pemerintah sebagai
pegawai. Bertumpu pada kebudayaan daerah, sehingga karya- karya Balai Pustaka
digemari rakyat pedesaan dan rakyat kota yang Priyayi. Roman – roman
Balai Pustaka penuh sentimentalis, penuh air mata/cengeng, yang dimaksudkan
untuk meninabobokan rakyat agar menjauhkan diri dari pikiran – pikiran sosial
dan politik bangsanya.
Ciri
– ciri karya sastra prosa Angkatan Balai Pustaka :
a) Menggambarkan persoalan adapt dan
kawin paksa termasuk permaduan
b) Bersifat Kedaerahan
c) Tidak bercerita tentang Kolonial
Belanda
d) Kalimat–kalimatnya panjang dan masih
banyak menggunakan perbandingan-perbandingan, pepatah, dan ungkapan – ungkapan
klise.
e) Corak lukisan adalah romantis
sentimental.
Adapun perintis puisi baru pada masa angkatan 20 adalah Moh.
Yamin. Beliau dipandang sebagai penyair Indonesia baru yang pertama karena
ia mengadakan pembaharuan puisi Indonesia, pembaharuannya dapat dilihat dari
kumpulan puisi Tanah Air pada tahun 1922.
Berikut
ini catatan puisi Moh. Yamin :
Di
atas batasan bukit barisan
Memandang
beta ke bawah memandang,
Tampaklah
hutan rimba dan ngarai,
Lagipula
sawah, telaga nan permai,
Serta
gerangan lihatlah pula,
Langit
yang hijau bertukar warna
Oleh
pucuk daun kelapa
2.1.3 Karya – karya dan Pengarangnya
Pada ragam karya sastra prosa, timbul genre baru, yaitu
roman, yang sebelumnya belum pernah ada. Tujuan didirikannya Balai Pustaka
ialah untuk mengembangkan bahasa – bahasa seperti bahasa Jawa, bahasa Sunda,
bahasa Melayu tinggi dan bahasa Madura. Serta mencegah pengaruh buruk dari
bacaan yang banyak menyoroti kehidupan pernyaian (cabul) dan dianggap memiliki
misi politis (liar) yang dihasilkan oleh sastra Melayu Rendah.
Isi roman Azab dan Sengsara sudah tidak lagi menceritakan
hal – hal yang fantastis dan istanasentris, melainkan lukisan tentang hal – hal
yang benar terjadi dalam masyarakat yang memusatkan pada golongan orang tua
tentang akibat kawin paksa dan masalah adat. Adapun isi ringkasa roman Azab dan
Sengsara.
Cinta
yang tak sampai antara kedua anak muda Aminuddin dan Mariamin, karena rintangan
orang tua. Mereka saling mencintai sejak dibangku sekolah, tetapi akhirnya
masing – masing harus kawin dengan orang yang bukan pilihannya sendiri, yang
akibatnya tak ada kebahagiaan dalam hidupnya. Pihak gadis terpaksa kawin dengan
orang yang tidak dicintai, yang berakhir dengan perceraian dan Mariamin mati
muda karena merana.
Genre roman mencapai puncak yang sesungguhnya ketika
diterbitkan buku Siti Nurbaya karya Marah Rusli pada tahun 1922. Pengarang
tidak hanya mempersoalkan masalah yang nyata saja, tetapi mengemukakan manusia-
manusia yang hidup. Pada roman Siti Nurbaya tidak hanya melukiskan percintaan
saja, juga mempersoalkan poligami, membangga- banggakaan bangsawan, adat yang
tidak sesuai dengan zamannya, persamaan hak wanita dan pria dalam menentukan
jodohnya, anggapan bahwa asal ada uang segala maksud tertentu tercapai.
Persoalan – persoalan itulah yang ada dalam masyarakat.
Karya – karya Balai Pustaka:
1.
Azab dan Sengsara (Merari Siregar)
2.
Sitti Nurbaya (Marah Rusli)
3.
Salah Asuhan, Pertemuan Jodoh (Abdul
Muis)
4.
Salah pilih, Apa Dayaku karena Aku
Perempuan (Nur Sultan Iskandar)
5.
Muda Taruna, Buah di Kedai Kopi
(Muhamad Kasim)
6.
Kasih Tak Terlerai, Percobaan Setia
(Suman HS)
7.
Darah Muda, Asrama Jaya (Adinegoro)
8.
Sengsara Membawa Nikmat, Tak di
Sangka, (Tulis Sultan Tati)
9.
Dagang Melarat, Pertemuan (Abas
Sutan Pamunjak Nan sati)
Dari segi isi, puisi ini merupakan ucapan perasaan pribadi
seorang manusia yang rindu pada keagungan yang Maha Kuasa. Dari segi bentuk,
jumlah barisnya tidak lagi empat baris, seperti syair dan pantun dan
persajakannya (rima) tidak sama.
Karya Rustam Effendi
Puisi
berikut merupakan karya Rustam Effendi :
Bukan beta pijak berperi
Bukan
beta pijak berperi,
Pandai
mengubah madahan syair
Bukan
beta budak berperi,
Musti
menurut undangan mair,
Sarat
– saraf saya mungkiri
Untai
rangkaian seloka lama,
Beta
buang beta singkiri
Sebab
laguku menurut sukma
Dilihat bentuknya, puisi tersebut seperti pantun, tetapi
dilihat hubungan barisnya, seperti syair, ia meniadakan tradisi sampiran dalam
pantun sehingga sajak itu disebut pantun modern, yang lebih banyak menggunakan
sajak aliterasi, asonansi, dan sajak dalam sehingga beliau dipandang sebagai
pelopor penggunaan sajak asonansi dan aliterasi.
2.1.4 Tokoh – tokoh Angkatan Balai Pustaka
Di bawah ini disajikan riwayat hidup para pengarang angkatan
Balai Pustaka secara singkat dan berikut nama-nama pada masa angkatan Balai
Pustaka.
1) Merari Siregar
Dilahirkan 13 Juni 1896 di Siporok, Tanapuli Selatan
(Sumatra Utara), meninggal 23 April 1940 di Kelenget, Madura. Berpendidikan
Handels-correspondent Bond A di Jakarta (1923), pernah bekerja sebagai guru di
Medan, rumah sakit umum Jakarta, dan Opium & Zouttreige Kalianget. Novelnya
Azab dan Sengsara (1920) lazim dianggap sebagai awal kesusastraan Indonesia.
2) Marah Rusli
Dilahirkan 7 Agustus 1889 di Padang, meninggal 17 Januari
1968 di Bandung. Berpendidikan Sekolah Dokter hewan di Bogor (1915), dan Dosen
Sekolah Tinggi Dokter Hewan di Klaten (1948). Namanya terkenal karena novel
atau roman Siti Nurbaya.
3) Abdul Muis
Dilahirkan pada tahun 1889 di Solok, Sumatra Barat,
meningggal 17 Juli 1959 di Bandung. Pendidikan terakhir tamat sekolah
kedokteran (STOVIA), di Jakarta. Menjadi klerek didepartemen buderwijs en
eredienst dan jadi wartawan di Bandung selain itu ia juga aktif dalam
syarikat islam dan pernah menjadi anggota dewan rakyat. Namanya terkenal karena
novel Salah Asuhan (1928), Pertemuan Jodoh (1933), Surapati (1950), dan Robert
Anak Surapati (1953)
4) Nur Sultan Iskandar
Dilahirkan 3 November 1989 di Sungai Batang (Sumatra Utara),
meningggal 28 November 1975 di Jakarta. Pendidikannya sekolah Melayu 11 (1908),
dan sekolah Bantu (1911) ia pernah menjadi guru sekolah Desa di Sungai Batang
(1908), guru Bantu di Muarabelita (Palembang), Dosen Fakultas Sastra UI
(1955-1960), dan Redaktur Balai Pustaka hingga pensiun. Menghasilkan sejumlah
novel diantaranya yaitu Apa Dayaku Karena Aku Permpuan (1922), Salah Pilih
(1928), Karena Mertua (1932), dan lain – lain.
5) Muhamad Kasim
Dilahirkan tahun 1886 di Muara Sipongi, Tanapuli Selatan
(Sumatra Utara), pendidikannya sekolah guru sampai tahun 1935, ia bekerja
sebagai guru sekolah dasar. Kumpulan cerpennya Teman Duduk (1936) lazim disebut
sebagai awal tradisi kumpulan cerpen sastra Indonesia. Bukunya yang berjudul Si
Samin mendapat hadiah Sayembara Buku Anak – anak Balai Pustaka tahun 1924, lalu
terbit lagi tahun 1928 dengan judul Pemandangan Dalam Dunia Kanak – kanak.
6) Suman H. S.
Dilahirkan tahun 1904 di Bengkalis. Berpindah ke sekolah
Melayu di Bengkalis (1912-1918) dan sekolah normal di Medan dan Langsa (1923),
dia pernah menjadi guru Bahasa Indonesia di HISSIAK Sri Indapura (1923-1930).
Kepala Sekolah Bumi Melayu (di Pasir pengkarayaan (1930) pemilik sekolah
dizaman penduduk Jepang, pemilik sekolah merangkap kepala jabatan dinas
Pekanbaru – Kampar. Anggota pemerintahan tingkat satu Riau (1960-1966). Anggota
DPRD propinsi Riau (1966-1968) dan terakhir menjabat ketua umum Yayasan Lembaga
Pendidikan Riau.
Karangannya :
a) Kasih Tak Terlarai (novel, 1929)
b) Percobaan Setia (novel, 1931)
c) Mencari Pencuri Anak Perawan (novel,
1932)
d) Casi Tersesat (novel, 1932)
e) Kawan Bergelut (kumpulan cerpen,
1938)
f) Tebusan Darah (novel, 1939)
7) Adinegoro
Dilahirkan 14 Agustus 1904 di Talawi, Sumatra Barat,
meninggal 8 Januari 1967 di Jakarta berpendidikan sekolah kedokteran (STOVIA)
di Jakarta (1918-1925) dan kemudian memperdalam pengetahuan di Belanda dan
Jerman Barat (1926-1930), dia pernah memjadi redaktur Panji Pustaka. Perwata
Deli dan Mimbar Indonesia di samping itu ia juga pernah menjadi anggota Dewan
Rakyat pada masa pendudukan Jepang, anggota Dewan Perancang Nasional, anggota
MPRS, ketua komisaris badan penerbit Dewan Agung, dan Dewan Komisaris LKBN
antara.
Karangannya:
1.
Darah Muda (novel, 1927)
2.
Asmara Jaya (novel, 1928)
3.
Melawat Ke Barat (novel, 1930)
8) Tulis Sutan Sati
Dilahirka tahun 1928 di Bukitinggi, meninggal tahun 1942 di
Jakarta pernah menjadi guru dan kemudian menjadi Redaktur Balai Pustaka
(1920-1940).
Karangannya:
- Sengsara Membawa Nikmat (novel, 1928)
- Tak Disangka (novel, 1929)
- Syair Siti Marhumah Yang Saleh (1930)
- Memutuskan Pertalian (novel,1932)
- Tiak Membalas Guna (novel, 1932)
9) Abas Sutan Pamunjak Nan Sati
Di lahirkan 17 Febuari 1899 di Magak, Bukitinggi, meninggal
4 Oktober 1975 di Jakarta pendidikannya Swasta di Magek (1908-1911) sekolah
privat di Bukitinggi (1911-1913), Kweek Schol (1914-1920), kursus bahasa
(1918), dan Inland MO (1929-1945), ia pernah menjadi guru diberbagai kota
(1920-1942), Dosen Sekolah Tinggi di Jakarta (1942-1945), Dosen Universitas
Gajah Mada di Yogyakarta (1946-1949), pegawai departemen pendidikan pengajaran
merangkap Dosen Universitas Indonesia di Jakarta (1949).
Karangannya:
1.
Dagang Melarat (novel, 1926)
2.
Pertemuan (novel, 1927)
3.
Putri Zahara atau Bunga Tanjung di
Pasar Pasir (Afrika) (novel, 1947)
4.
Jambangan (Kumpulan Sajak, 1947)
10) Aman Datuk Madjoinjo
Dilahirkan tahun 1896 di Surakam, Solok (Sumatra Utara),
meninggal 16 Desember 1969, sejak tahun 1920 hingga pensiun ia bekerja di Balai
Pustaka.
Karangannya:
1.
Syair Si Banso Urai (1931)
2.
Menebus Dosa (novel, 1932)
3.
Rusmala Dewi (novel bersama
S.Hardejosumarto,1932)
4.
Si Cebol Rindkan Bulan (novel, 1934)
5.
Sampaikan Salamku Kepadanya (novel,
1935), dll.
11) Muhammad Yamin
Dilahirkan 23 Agustus 1903 di Sawahlunto, Sumatra Barat,
meninggal 17 Oktober 1926 di Jakarta, pendidikannya HIS (1918), AMS (1927), dan
tamat sekolah Hakim Tinggi Jakarta (1932). Ia pernah menjadi Menteri Kehakiman
(1951), Menteri Pengajaran, pendidikan dan kebudayaan RI (1953-1955), Ketua
Badan Pengawasan LKBN antara (1961-1962) ketua Dewan Perancang Nasional (1962).
Karangannya:
- Tanah Air (Kumpulan Sajak, 1922)
- Indonesia Tumpah Darahku (Kumpulan sajak, 1928)
- Kalau Dewi Tara Sudah Berkata (drama, 1932)
- Ken Arok dan Ken Dedes (drama, 1934)
12) Rustam Effendi
Dilahirkan 13 Mai 1903 di Padang dan HKS Bandung ( 1924) dia
pernah menjadi guru di Perguruan Tinggi Islam Adabiah 11 Padang tahun
(1928-1947), ia bermukim di Belanda dan 14 tahun diantaranya (1933-1946)
menjadi anggota Kamer Majelis Rendah.
Karangannya:
- Bebasari (drama, 1926)
- Percikan Permenungan (kumpulan sajak, 1926)
13) Yogi (Abdul Rivai)
Dilahirkan 1 Juli 1896 di Bonjol, Sumatra Utara, meninggal 4
April 1983 di Jakarta pendidikannya Sekolah Gubernemen kelas dua Lubuk Sikamping
dan Kursus Guru Bantu.
Karangannya:
- Gubahan (kumpulan sajak, 1930)
- Puspa Aneka (1931)
Tokoh – tokoh yang pernah memimpin Balai Pustaka tercatat
Dr. D.A Rankes, Dr. G.W.J. Drewes, Dr. K.A. Hidding, sementara sastrawan
Indonesia yang pernah bekerja di sana tercatat adinegoro,S. Takdir Alisjahbana,
Armijn Pane, Nur Sutan Iskandar, dan H.B. Jasin.
2.1.5 Karakteristik Karya Sastra yang Terbit di Luar Balai
Pustaka
Karya sastra yang terbit di luar Balai Pustaka dan yang
tidak termasuk kriteria Balai Pustaka biasa kita sebut dengan Bacaan Liar.
Pada abad ke-19, di Surabaya terbit surat kabar Bintang
Timoer (mulai tahun 1862). Awal abad-20 di Bandung terbit surat kabar yaitu
Medan Priyayi yang memuat cerita – cerita bersambung berbentuk roman. Cerita –
cerita itu ditulis dalam bahasa Melayu, tetapi bukan oleh pengarang – pengarang
Melayu atau Sumatra, yang mengisahkan masyarakat pada masa itu. Seperti roman
yang berjudul Hikayat, yang melukiskan kehidupan sehari – hari dan menggunakan
bahasa Melayu. Pemimpin redaksi surat kabar Medan Prijaji sendiri, Raden Mas
(Djokonomo) Tirto Adhisurjo (1875-1916) menulis dua buah cerita roman,
masing-masing berjudul Busono (1910) dan Nyai Permana (1912). Pengarang
keturunan bahasa Melayu- Cina. Misalnya G. Francis yang menulis kisah Nyai
Desima (1896). Kisah ini menceritakan nasib seorang wanita kampung yang dijadikan
nyai orang Inggris kemudian tertawan hatinya oleh pengaruh guna-guna seorang
Bang Samiun.
Adapun karya Marco Kartodikromo yang berjudul Student Hijo,
yang terbit pertama kali tahun 1918 melalui Harian Sinar Hindia, dan muncul
sebagai buku tahun 1919, merupakan salah satu perintis lahirnya sastra
perlawanan: sebuah fenomena dalam sastra Indonesia sebelum perang.
Novel ini berkisah tentang lahirnya para intelektual pribumi
dari kalangan borjuis kecil yang secara berani mengontraskan kehidupan di
Nederland, oleh karena itu novel ini dipinggirkan oleh Balai Pustaka. Tak hanya
itu, buku ini menceritakan kisah cinta yang rumit antara para tokoh – tokohnya
seperti Hijo, Biru, Wungu, Walter dan lain – lain.
Adapun Kesastraan Melayu Tionghoa. Mengutip hasil penelitian
Salmon Edwin mengatakan, Oey Se karya Thio Tjien Boen dan Lo Fen Koei karangan
Gouw Peng Liang adalah dua prosa asli pertama Kesastraan Melayu Tionghoa
yang diterbutkan tahun 1903, dua karya itu lahir 20 tahun lebih awal dibanding
karya – karya sastra terbitan Balai Pustaka antara lain terbitan novel Azab dan
Sengsara (1920) karya Merari Siregar dan Siti Nurbaya (1922) karya Marah Rusli.
Isi
dari Oey Se karya Thio Tjien Boen dan Lo Fen Koei itu sudah bukan lagi
tergolong kisah – kisah hikayat namun sebaliknya lebih mengesankan sabagai
novel denan para tokohnya yang riil an pengarang yang jelas. Gerakan Tionghoa
Modern waktu itu, berniat ingin memperbarui adat – istiadat Tionghoa di Jawa
yang mereka nilai sudah kolot.
0 komentar: